Tuesday, March 29, 2016

Berlari Mundur

Pernah ada yang bilang, setiap perempuan memiliki ruang kosong di hatinya,semacam ruang penantian katanya, sebelum ia hidup menggenap.

Kenapa ruang kosong itu harus ada? Buat apa? Dan siapa yang akan mengisi ruang kosong itu nanti?

Bisa kamu bayangkan, sebuah ruang kosong, yang belum berpenghuni. Sendiri? Gelap? Sepi?

Dan hanya kita, seorang perempuan bediam sendiri, di ruang ini. Sembari berharap, pintu di ujung sana segera terbuka, mengantarkan seseorang yang akan menjadi penghuni baru ruangan ini.
Ruang kosong itu ibarat sebuah rumah baru, tanpa perabotan, tanpa catd engan pintu yang masih terkunci rapat dari luar sana. Kita tidak bisa keluar, kita hanya bisa bertahan di dalamnya. Maka, akan menjadi pilihan setelahnya, bagaimana kita akan hidup di ruang kosong ini. Membuatnya akan tetap kosong kah? Hanya sesekali membersihkannya, yang penting tidak terlalu terlihat kotor, atau biarkan saja ruang kosong itu apa adanya, akan menjadi kotor, penuh debu dan entah nanti mau diisi apa sajakah, tak akan peduli. Atau kita coba bersihkan kemudian sibuk merancang berbagai tata letak ruang dan perabotan untuk ruang. Mulai dari cat warna apa yang cocok hingga segala pernak-pernik perabotan apa yang akan menghiasi. Semua dirancang detail, berharap semuanya tersiapkan dengan sangat baik.

Taukah kamu?

Menunggu ruang kosong tak selalu menyenangkan. Bagaimana akan menyenangkan jika hanya ada seorang diri di sana. Kecuali, jika kita mau menggunakan kesempatan untuk menyiapkan dengan baik segala rancangan. Maka, waktu tak akan begitu saja terlewatkan. Tetapi, itu (pilihan). Pilihan untuk setiap perempuan. Menggunakan kesempatan itu atau tidak. Namun, menurutku tak ada seorang perempuan yang tak ingin ruang kosong itu menjadi indah dengan segala rancangan yang telah mereka siapkan. Hanya saja, penantian dalam ruang kosong itu tak tau akan berakhir kapan. Membuat si penghuni harus mampu berteman dengan kesabaran dan kelapangan. Bagi kaum perempuan, ini bukan persoalan mudah, terlebih kami adalah kaum yang begitu perasa. Menjalani hari dengan berteman sepi dan sendiri. Maka, mungkin tak heran, jika kemudian beberapa perempuan menyerah sebelum saatnya, mencoba membuka paksa pintu itu. Berharap si penghuni baru yangsudah dipersiapkan untuknya akan datang lebih cepat (mungkin).  Atau setidaknya agar tak lagi merasa sepi dan sendiri, karena akan ada orang lain yang menemani. Padahal taukah kamu? Jika pintu itu sudah terbuka, maka akan banyak orang diluar sana yang mencoba bertamu, seolah penasaran dan ingin tahu siapa si penghuni ruang kosong itu.

Taukah kamu?

Lagi-lagi itu pilihan. Dan aku berharap pintu ruanganku hanya akan terbuka sekali oleh penghuni baru yang telah Dia siapkan untukku.  Aku pun juga memilih untuk tetap berdiam di ruang kosong ini, sembari membuat rancangan terbaik untuk rumah kita nantinya. Kita? Ya. Kita nanti.  Percaya dengan Nya, Dia telah menjanjikan  dan Janji-Nya akan selalu tepat, itu akan membuat kita selalu kuat. Dan ternyata membuat rancangan tak semudah itu. Sampai-sampai kadang ada perasaan khawatir terlintas, bagaimana jika di saat rancanganku belum jadi, si penghuni baru sudah datang lebih dulu. Rasanya ingin meminta kepada-Nya, bolehkah undur waktu sebentar sampai aku menyelesaikan rancangannya, Tuhan?  Hingga mungkin ada sebersit penyesalan, karena mengapa aku baru mulai memikirkan tentang rancangan ini. Tapi, waktu-Nya akan selalu tepat, bukan?

Taukah kamu?

Aku terkadang tak selalu sukses melewatkan waktu dalam penantian di ruang ini. Entahlah, aku merasa pintu ruanganku tak lagi serapat dulu, tapi ia juga tak kunjung terbuka lebar dan mengantarkanmu datang. Aku khawatir kenapa ia tak serapat dulu, kau sudah membukanya lebih dulu kah? Kenapa kau hanya membukanya setengah? Kenapa tak kau buku utuh kunci ruang itu? Kamu tau? Membukanya setengah bisa membuat hatiku tak tenang, khawatir jika ternyata setengahnya lagi bukan kamu yang akan membukanya. Tuhan, ampunilah saya.
Walaupun mungkin, membukanya setengah juga sedikit cukup melegakan aku, karena mungkin ternyata kamu calon penghuni baru ruanganku yang telah Dia siapakan. Tapi, aku tetap butuh kepastian di saat semakin tinggi harapan.
Dan sekarang, aku hanya bisa berdiam berada di tengah ruangan. Menatap pintu yang sudah terbuka setengah sembari berharap kau datang membukanya lebar, tapi kapan? Pandanganku tak akan pernah lepas dari tatapan pintu yang sudah setengah terbuka itu. Aku mencoba mencari cara agar aku tak terus-terusan memandangi pintu setengah terbuka itu. Tapi bagaimana caranya?
Memintamu menutupnya rapat lagi? Tapi, itu artinya aku tak boleh lagi berharap tentang mu. Menghilangkan segala imajinasi yang sudah aku susun untuk rancangan terbaikku dan tentangmu ada di dalamnya. Sepertinya aku tak sanggup.
Tapi, jika aku tetap di posisi ini, pintu setengah terbuka itu selalu jadi pandangan, rasanya aku tak mampu.

Taukah kamu?

Pintu yang sudah terbuka setengah itu seakan selalu mengabariku tentang kamu. Kamu yang bagaimana dan seperti apa. Tentangmu tak selalu menyenangkan. Aku sadar, karena aku pun pasti juga begitu untukmu.  Aku tak lantas bukan menyalahkanmu, jika memang kutahu untuk beberapa hal ternyata kamu tak seperti yang aku inginkan. Tak apa, bukankah memang kita harus belajar tentang peneriman? Tapi, bukan sekarang. Bukan. Aku tak mau mengenalmu lebih awal, mengetahui seperti apa kamu, yang mungkin bisa membuatku tersenyum atau kesal kepadamu
Tolong, jangan buat aku semakin tau tentang kamu. Aku takut. Aku takut aku semakin mendekat kearah pintu dan kemudian membukanya sendiri untuk mencari kamu. Bertemu kamu. Bukan seperti itu yang aku inginkan.
Maka, bolehkah aku perlahan berjalan dan berlari mundur saja?

Iya...berlari mundur menjauh dari pintu itu, sampai tak terlihat pemandangan pintu setengah terbuka itu lagi. Agar berita tentangmu tak aku dengar (lagi) sampai nanti kamu benar-benar datang untukku. Maaf. Tolong aku, Tuhan.

No comments:

Post a Comment