Pernah ada yang
bilang, setiap perempuan memiliki ruang kosong di hatinya,semacam ruang
penantian katanya, sebelum ia hidup menggenap.
Kenapa ruang
kosong itu harus ada? Buat apa? Dan siapa yang akan mengisi ruang kosong itu
nanti?
Bisa kamu
bayangkan, sebuah ruang kosong, yang belum berpenghuni. Sendiri? Gelap? Sepi?
Dan hanya
kita, seorang perempuan bediam sendiri, di ruang ini. Sembari berharap, pintu
di ujung sana segera terbuka, mengantarkan seseorang yang akan menjadi penghuni
baru ruangan ini.
Ruang kosong
itu ibarat sebuah rumah baru, tanpa perabotan, tanpa catd engan pintu yang
masih terkunci rapat dari luar sana. Kita tidak bisa keluar, kita hanya bisa
bertahan di dalamnya. Maka, akan menjadi pilihan setelahnya, bagaimana kita
akan hidup di ruang kosong ini. Membuatnya akan tetap kosong kah? Hanya sesekali
membersihkannya, yang penting tidak terlalu terlihat kotor, atau biarkan saja ruang
kosong itu apa adanya, akan menjadi kotor, penuh debu dan entah nanti mau diisi
apa sajakah, tak akan peduli. Atau kita coba bersihkan kemudian sibuk merancang
berbagai tata letak ruang dan perabotan untuk ruang. Mulai dari cat warna apa
yang cocok hingga segala pernak-pernik perabotan apa yang akan menghiasi. Semua
dirancang detail, berharap semuanya tersiapkan dengan sangat baik.
Taukah kamu?
Menunggu ruang
kosong tak selalu menyenangkan. Bagaimana akan menyenangkan jika hanya ada
seorang diri di sana. Kecuali, jika kita mau menggunakan kesempatan untuk
menyiapkan dengan baik segala rancangan. Maka, waktu tak akan begitu saja
terlewatkan. Tetapi, itu (pilihan). Pilihan untuk setiap perempuan. Menggunakan
kesempatan itu atau tidak. Namun, menurutku tak ada seorang perempuan yang tak
ingin ruang kosong itu menjadi indah dengan segala rancangan yang telah mereka
siapkan. Hanya saja, penantian dalam ruang kosong itu tak tau akan berakhir
kapan. Membuat si penghuni harus mampu berteman dengan kesabaran dan
kelapangan. Bagi kaum perempuan, ini bukan persoalan mudah, terlebih kami
adalah kaum yang begitu perasa. Menjalani hari dengan berteman sepi dan
sendiri. Maka, mungkin tak heran, jika kemudian beberapa perempuan menyerah
sebelum saatnya, mencoba membuka paksa pintu itu. Berharap si penghuni baru
yangsudah dipersiapkan untuknya akan datang lebih cepat (mungkin). Atau setidaknya agar tak lagi merasa sepi dan
sendiri, karena akan ada orang lain yang menemani. Padahal taukah kamu? Jika
pintu itu sudah terbuka, maka akan banyak orang diluar sana yang mencoba
bertamu, seolah penasaran dan ingin tahu siapa si penghuni ruang kosong itu.
Taukah kamu?
Lagi-lagi
itu pilihan. Dan aku berharap pintu ruanganku hanya akan terbuka sekali oleh
penghuni baru yang telah Dia siapkan untukku.
Aku pun juga memilih untuk tetap berdiam di ruang kosong ini, sembari
membuat rancangan terbaik untuk rumah kita nantinya. Kita? Ya. Kita nanti. Percaya dengan Nya, Dia telah menjanjikan dan Janji-Nya akan selalu tepat, itu akan
membuat kita selalu kuat. Dan ternyata membuat rancangan tak semudah itu. Sampai-sampai
kadang ada perasaan khawatir terlintas, bagaimana jika di saat rancanganku
belum jadi, si penghuni baru sudah datang lebih dulu. Rasanya ingin meminta
kepada-Nya, bolehkah undur waktu sebentar sampai aku menyelesaikan
rancangannya, Tuhan? Hingga mungkin ada
sebersit penyesalan, karena mengapa aku baru mulai memikirkan tentang rancangan
ini. Tapi, waktu-Nya akan selalu tepat, bukan?
Taukah kamu?
Aku terkadang
tak selalu sukses melewatkan waktu dalam penantian di ruang ini. Entahlah, aku
merasa pintu ruanganku tak lagi serapat dulu, tapi ia juga tak kunjung terbuka lebar
dan mengantarkanmu datang. Aku khawatir kenapa ia tak serapat dulu, kau sudah
membukanya lebih dulu kah? Kenapa kau hanya membukanya setengah? Kenapa tak kau
buku utuh kunci ruang itu? Kamu tau? Membukanya setengah bisa membuat hatiku
tak tenang, khawatir jika ternyata setengahnya lagi bukan kamu yang akan
membukanya. Tuhan, ampunilah saya.
Walaupun mungkin,
membukanya setengah juga sedikit cukup melegakan aku, karena mungkin ternyata
kamu calon penghuni baru ruanganku yang telah Dia siapakan. Tapi, aku tetap
butuh kepastian di saat semakin tinggi harapan.
Dan
sekarang, aku hanya bisa berdiam berada di tengah ruangan. Menatap pintu yang
sudah terbuka setengah sembari berharap kau datang membukanya lebar, tapi
kapan? Pandanganku tak akan pernah lepas dari tatapan pintu yang sudah setengah
terbuka itu. Aku mencoba mencari cara agar aku tak terus-terusan memandangi
pintu setengah terbuka itu. Tapi bagaimana caranya?
Memintamu menutupnya
rapat lagi? Tapi, itu artinya aku tak boleh lagi berharap tentang mu. Menghilangkan
segala imajinasi yang sudah aku susun untuk rancangan terbaikku dan tentangmu
ada di dalamnya. Sepertinya aku tak sanggup.
Tapi, jika
aku tetap di posisi ini, pintu setengah terbuka itu selalu jadi pandangan,
rasanya aku tak mampu.
Taukah kamu?
Pintu yang
sudah terbuka setengah itu seakan selalu mengabariku tentang kamu. Kamu yang
bagaimana dan seperti apa. Tentangmu tak selalu menyenangkan. Aku sadar, karena
aku pun pasti juga begitu untukmu. Aku tak
lantas bukan menyalahkanmu, jika memang kutahu untuk beberapa hal ternyata kamu
tak seperti yang aku inginkan. Tak apa, bukankah memang kita harus belajar
tentang peneriman? Tapi, bukan sekarang. Bukan. Aku tak mau mengenalmu lebih
awal, mengetahui seperti apa kamu, yang mungkin bisa membuatku tersenyum atau
kesal kepadamu
Tolong,
jangan buat aku semakin tau tentang kamu. Aku takut. Aku takut aku semakin
mendekat kearah pintu dan kemudian membukanya sendiri untuk mencari kamu. Bertemu
kamu. Bukan seperti itu yang aku inginkan.
Maka,
bolehkah aku perlahan berjalan dan berlari mundur saja?
Iya...berlari
mundur menjauh dari pintu itu, sampai tak terlihat pemandangan pintu setengah
terbuka itu lagi. Agar berita tentangmu tak aku dengar (lagi) sampai nanti kamu
benar-benar datang untukku. Maaf. Tolong aku, Tuhan.
No comments:
Post a Comment